Pengurus PMR SMABHATIG

Mengetahui sesuatu dan memahami segala sesuatu adalah lebih baik daripada mengetahui segala sesuatu, tetapi tidak memahami sesuatu.

Sabtu, 28 Mei 2011

Kehadiran Anak dalam Keluarga

Kehadiran seorang anak dalam keluarga merupakan dambaan hampir setiap pasangan, terlebih bagi mereka yang baru melangsungkan pernikahan untuk membentuk sebuah keluarga baru. Banyak keluarga yang terpaksa mengadopsi anak manakala setelah sekian lama mereka tidak juga dikaruniai seorang anak. Demikianlah, kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga memang sebuah anugerah yang tidak bisa diperoleh setiap keluarga.

Apabila dilihat secara umum, kehadiran anak dalam keluarga dapat dilihat sebagai faktor yang menguntungkan orang tua dari segi psikologis, ekonomis dan sosial (Horowirz, 1985; Suparlan, 1989; Zinn dan Eitzen, 1990). Hal ini dikarenakan :

Pertama, anak dapat lebih mengikat tali perkawinan. Pasangan suami istri merasa lebih puas dalam perkawinan dengan melihat perkembangan emosi dan fisik anak. Kehadiran anak juga telah mendorong komunikasi antara suami istri karena mereka merasakan pengalaman bersama anak mereka.

Kedua, orang tua merasa lebih muda dengan membayangkan masa muda mereka melalui kegiatan anak mereka.

Ketiga, anak merupakan simbol yang menghubungkan masa depan dan masa lalu. Dalam kaitan ini, orang tua sering menemukan kebahagiaan diri mereka dalam anak-anak mereka, kepribadian, sifat, nilai, dan tingkat laku mereka diturunkan lewat anak-anak mereka.

Keempat, orang tua memiliki makna dan tujuan hidup dengan adanya anak.

Kelima, anak merupakan sumber kasih sayang dan perhatian.

Keenam, anak dapat meningkatkan status seseorang. Pada beberapa masyarakat, individu baru mempunyai hak suara setelah ia memiliki anak.

Ketujuh, anak merupakan penerus keturunan. Untuk mereka yang menganut sistem patrilineal, seperti Cina, Korea, Taiwan, dan Suku Batak, adanya anak laki-laki sangat diharapkan karena anak laki-laki akan meneruskan garis keturunan yang diwarisi lewat nama keluarga. Keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki dianggap tidak memiliki garis keturunan, dan keluarga itu dianggap akan punah.

Kedelapan, anak merupakan pewaris harta pusaka. Bagi masyarakat yang menganut sistem matrilineal, anak perempuan selain sebagai penerus keturunan, juga bertindak sebagai pewaris dan penjaga harta pusaka yang diwarisinya. Sedangkan anak laki-laki hanya mempunyai hak guna atau hak pakai. Sebaliknya, pada masyarakat yang menganut sistem patrilineal, anak laki-lakilah yang mewariskan harta pusaka.

Kesembilan, anak juga mempunyai nilai ekonomis yang penting. Di daerah pedesaan Jawa, anak sudah dapat membantu orang tua pada usia yang sangat muda. White (1982) menemukan bahwa umumnya anak mulai teratur membantu orang tua pada usia 7-9 tahun, tetapi juga ditemukan beberapa kasus anak yang membantu sejak mereka berumur 5-6 tahun. Anak laki-laki biasanya mengumpulkan rumput, memelihara ternak, mengolah sawah atau pekarangan, menjaga adik, dan mengambil air. Semakin besar usia mereka, semakin berat pekerjaan yang harus mereka lakukan.